SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Selasa, 04 November 2014

Konsep Komunikasi Terapeutik

DASAR-DASAR KEPERAWATAN II
“KONSEP KOMUNIKASI TERAPEUTIK”



Di Susun Oleh :
Nama : Satrio Noviansyah
NPM : 1126010034
Jurusan/Semester : Keperawatan IVA



PROGRAM ILMU KEPERAWATAN 
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKES )
TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU
2012/2013





KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahhi Wabarakatuh
Puji syukur kita hanturkan kepada Allah SWT yang mana berkat segala rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Konsep Komunikasi Terapeutik”.
Dalam Penulisan makalah ini, pemakalah merasa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan-kekurangan baik secara teknis penulisan, ilmu pengetahuan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki pemakalah. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, Pemakalah mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi semua pembaca.

Wasalammualaikum  Warahmatullahi Wabarakatuh.


Bengkulu,     Maret 2013

Pemakalah






DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................................

BAB I  PENDAHULUAN........................................................................................................
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................
1.2. Tujuan..................................................................................................................................
1.3. Manfaat................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................
2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik.....................................................................................
2.2 Dasar-dasar Komunikasi Terapeutik...................................................................................
2.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik...........................................................................................
2.4 Unsur-unsur Komunikasi Terapeutik..................................................................................
2.5 Fase-fase Komunikasi Terapeutik.......................................................................................
2.6 Metode Komunikasi Terapeutik...........................................................................................
2.7 Prinsip Komunikasi Terapeutik...........................................................................................
2.8 Hambatan Komunikasi Terapeutik......................................................................................

BAB III  PENUTUP.................................................................................................................
3.1. Kesimpulan.........................................................................................................................
3.2. Kritik dan Saran..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan tugas yang diberikan pada mata perkuliahan Dasar-Dasar Keperawatan II yang membahas tentang bagaimana cara seorang perawat melakukan komunikasi yang baik dan benar dengan klien atau pasiennya. Komunikasi yang baik digunakan antara seorang perawat dengan pasiennya dalam dunia keperawatan dikenal dengan komunikasi terapeutik.
Didalam proses penyusunan makalah ini kami menggunakan beberapa literatur seperti buku-buku dan internet. Makalah ini berisikan pengertian komunikasi terapeutik, unsur-unsur komunikasi, komponen komunikasi, metode komunikasi, dan prinsip komunikasi terapeutik itu sendiri.
Komunikasi antara si pasien dengan juru rawat yang baik akan memberikan kepuasan tersendiri pada diri pasien. Pasien akan merasa senang, bahagia, dan puas dengan hasil perawatan yang diberikan. Dengan perasaan senang, puas dan nyamannya si pasien, hal ini akan membantu proses penyembuhan dari diri pasien itu sendiri.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini yang membahas tentang “Konsep Komunikasi Terapeutik” adalah agar mahasiswa-mahasiswi mampu menerapkan metode-metode komunikasi terapeutik dalam situasi klinis kepada pasien dan keluarga pasien sesuai kasus secara teori dengan benar dan memahami arti penting komunikasi terapeutik dalam dunia keperawatan.

1.3 Manfaat
a. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca pada umumnya dan Mahasiswa STIKES TMS Bengkulu.
b. Makalah ini diharapkan dapat menjadi panduan oleh mahasiswa dalam proses belajar Dasar-Dasar Keperawatan II.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” yang berarti bersama. Sedangkan menurut kamus, definisi komunikasi dapat meliputi ungkapan-ungkapan seperti berbagai informasi atau pengetahuan, memberi gagasan atau bertukar pikiran, informasi, atau yang sejenisnya dengan tulisan atau ucapan.
Komunikasi merupakan proses belajar seumur hidup bagi perawat. Perawat terus berhubungan dengan klien dan keluarganya sejak kelahiran sampai kematian. Oleh karna itu, dibutuhkan pembentukan komunikasi terapeutik. Perawat berkomunikasi dengan orang lain yang mengalami tekanan, yaitu: klien, keluarga, dan teman sejawat ( Potter dan Perry, 2010 ).
Komter (komunikasi terapeutik) merupakan komunikasi yang direncanakan secar sadar, tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk menyembuhkan klien. Komter merupakan media untuk saling memberi dan menerima antar perawat dengan klien. Komter berlangsung secara verbal dan non verbal. Dalam komter ada tujuan spesifik, batas waktu, berfokus pada klien dalam memenuhi kebutuhan klien, ditetapkan bersama, timbal balik, berorientasi pada masa sekarang, saling berbagi perasaan (Wahyu Purwaningsih dan Ina Karlina, 2010:11-12)
Komunikasi Terapeurik ialah pengalaman interaktif bersama antara perawat dan pasien dalam komunikasi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pasien (Mahmud Machfoedz, 2009:104)
Stuart G.W (1998) menyatakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dalam hubungan ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien. Sedangkan S.Sundeen (1990) menyatakan bahwa hubungan terapeutik adalah hubungan kerjasama yang ditandai tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik.

2.2 Dasar-dasar Komunikasi Terapeutik
Perbedaan antara komunikasi sosial dan komunikasi terapeutik dapat dikenali melalui beberapa hal sebagai berikut :
1. Perawat mengenal dengan baik pribadi pasien serta memahami dirinya dengan nilai-nilai yang dianutnya.
2. Komunikasi ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya, dan saling menghargai.
3. Perawat mampu memahami, menghayati, nilai yang dianut oleh pasien.
4. Perawat menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
5. Perawat mampu menciptakan suasana yang dapat memotivasi pasien untuk mengubah sikap dan perilaku sehingga dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.
6. Perawat harus mampu menguasai perasaannya secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan sedih, marah, dan frustasi.
7. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensi.
8. Memahami dengan baik arti simpati sebagai sifat tindakan terapeutik dan yang bukan terapeutik.
9. Kejujuran dan keterbukaan komunikasi merupakan dasar hubungan terapeutik.
10. Mampu memerankan model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan sehingga perawat perlu mempertahankan suatu kondisi sehat secara fisik, mental sosial, spiritual dan gaya hidup.
11. Perawat perlu mampu menciptakan suasana yang memungkinkan bagi pasien untuk berkembang tanpa rasa takut.
12. Perawat merasa puas dapat menolong orang lain secara manusiawi.
13. Memperhatikan etika dengan cara berusaha sekuat daya setiap mengambil keputusan didasakan atas prinsip kesejahteraan manusia.

2.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Seorang perawat profesional selalu mengupayakan untuk berprilaku terapeutik, yang berarti bahwa tiap interaksi yang dilakukan menimbulkan dampak terapeutik yang memungkinkan klien untuk tumbuh dan berkembang. Tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien yang menurut Stuart dan Sundeen (1995) dan Limberg, Huter & Kruszweski (1983) meliputi:
1. Kesadaran diri, penerimaan diri, penghargaan diri yang meningkat
2. Identitas diri jelas, peningkatan integritas diri
3. Membina hubungan interpersonal yang intim, interdependen, memberi dan menerima dengan kasih sayang
4. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang realistic

2.4 Unsur-Unsur Komunikasi Terapeutik
Unsur-unsur yang terkandung dalam komunikasi terpeutik antara lain ( Potter dan Perry, 2010 ):
a. Keramahan
Keramahan merupakan bagian dari komunikasi terpeutik. Keramahan diberikan untuk memberikan kesan pertama yang menarik hati lawan bicara kita.
b. Penggunaan Nama
Pengenalan diri merupakan suatu yang penting agar tidak menimbulkan keraguan. Memanggil klien dengan nama akan menunjukkan penghargaan diri terhadap pasien itu sendiri.
c. Dapat Dipercaya
Orang yang dapat dipercaya adalah orang yang apabila membantu orang lain tidak akan memberikan keraguan terhadap orang yang dibantunya. Untuk itu seorang perawat harus menunjukkan kehangatan, konsistensi, reliabilitas, kejujuran, kompetensi, dan rasa hormat.
d. Otonomi dan Tanggung Jawab
Seorang perawat harus mampu membuat pilihan sendiri dan berani untuk mempertanggung jawabkan atas pilihan atau keputusan yang diberikan ( Townsend, 2003 )
b. Asertif
Komunikasi Asertif memungkinkan anda untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran tanpa menuduh atau melukai orang lain ( Grover, 2005 ). Sikap asertif akan memberikan kepercayaan diri sekaligus penghormatan terhadap orang lain.

2.5 Fase-fase Komunikasi Terapeutik
Stuart dan Sundeen (1995) mengenalkan empat fase “helping relationships” yang berkembang secara berurutan dan tiap fase mempunyai tugas yang berbeda. Fase hubungan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fase prainteraksi.
Pada fase prainteraksi, tugas keperawatan adalah (1) menggali perasaan, fantasi, dan rasa takut dalam diri sendiri; (2) menganalisis kekuatan dan keterbatasan profesional diri sendiri; (3) mengumpulkan data tentang klien jika memungkinkan; (4) merencanakan pertemuan pertama dengan klien.
2. Fase orientasi dan perkenalan.
Tugas keperawatan pada fase ini adalah (1) menetapkan alasan klien untuk mencari bantuan; (2) membina rasa saling percaya, penerimaan dan komunikasi terbuka; (3) menggali pikiran, perasaan dan tindakan klien; (4) mengidentifikasikan masalah klien; (5) mendefinisikan tujuan dengan klien; (6) merumuskan bersama kontrak termasuk nama, peran, tanggung jawab, harapan, tujuan, tempat pertemuan, waktu pertemuan, kondisi untuk terminasi, dan kerahasiaan.
3. Fase kerja.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) pada fase kerja, keperawatan bertugas; (1) menggali stressor yang berhubungan; (2) meningkatkan pengembangan penghayatan klien dan penggunaan mekanisme koping yang konstruktif; dan (3) membahas dan mengatasi perilaku resisten.
4. Fase Terminasi.
Dalam fase terakhir ini, keperawatan bertugas; (1) membina kenyataan tentang perpisahan; (2) meninjau kemajuan terapi dan pencapaian tujuan; dan (3) menggali bersama perasaan ditolak, kehilangan, kesedihan dan kemarahan serta perilaku yang terkait lainnya.

2.6 Metode Komunikasi Terapeutik
Metode atau teknik yang digunakan dalam komunikasi terapeutik antara lain ( Stuart dan Sundeen, 1998 ):
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan klien. Mendengar merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk berbicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.
b. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien.
d. Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri
Melalui pengulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan umpan balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.
e. Mengklasifikasi
Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh klien.
f. Memfokuskan
Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti.
g. Menyatakan hasil observasi
Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien.
h. Menawarkan informasi
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien yang bertujuan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.
i. Diam
Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan memproses informasi.
j. Meringkas
Meringkas pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat.
k. Memberi penghargaan
Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi untuk mendapatkan pujian dan persetujuan atas perbuatannya.
l. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan
Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan.
m. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan.
n. Menempatkan kejadian secara berurutan
Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya dalam suatu perspektif.
o. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien.
p. Refleksi
Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
2.7 Prinsip Komunikasi Terapeutik
Prinsip-prinsip yang terkandung pada komunikasi terapeutik antara lain (Suryani,2005):
a. Kejujuran (trustworthy)
Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat dipercaya.
b. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif.
Dalam berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi bingung.
c. Bersikap positif
Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
d. Empati bukan simpati
Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan permasalahan yang dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut didalamnya.
e. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien
Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien, (Taylor, dkk ,1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus menggunakan terkhnik active listening dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan secara tergesa-gesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien akibatnya dapat fatal, karena dapat saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
f. Menerima klien apa adanya
Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya.
g. Sensitif terhadap perasaan klien
Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi dan menyinggung perasaan klien.
h. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri
Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.

2.8 Hambatan Komunikasi Terapeutik.
Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-klien terdiri dari tiga jenis utama : resistens, transferens, dan kontertransferens. Ini timbul dari berbagai alasan dan mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, tetapi semuanya menghambat komunikasi terapeutik. Perawat harus segera mengatasinya. Oleh karena itu hambatan ini menimbulkan perasaan tegang baik bagi perawat maupun bagi klien. Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas satu-persatu mengenai hambatan komunikasi terapeutik itu.
1. Resisten
Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran verbalisasi yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah.
2. Transferens
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung.
3. Kontertransferens
Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien. Konterrtransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.

2.9 Tugas Perawat Dalam Tiap Fase Hubungan Terapeutik
Fase Tugas Perawat
Prainteraksi 1. Eksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan sendiri
2. Analisa kekuatan kelemahan professional
3. Dapatkan data tentang klien jika memungkinkan
4. Rencanakan pertemuan pertama
Orientasi 1. Tentukan alasan masuk klien minta pertolongan
2. Bina rasa saling percaya (trust), penerimaan dan
3. Komunikasi terbuka
4. Rumuskan kontrak pertama
5. Eksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan klien
6. Identifikasi masalah klien
7. Rumuskan tujuan bersama klien
Kerja 1. Eksplorasi stressor yang tepat
2. Dorong perkembangan kesadaraan diri klien dan pemakaian mekanisme koping konstruksi
3. Atasi penolakan perilaku adaftif
Terminasi 1. Ciptakan realitas perpisahan
2. Bicarakan proses terapi dan pencapaian tujuan
3. Saling mengeskplorasi perasaan penolakan dan kehilangan, sedih, marah dalam perilaku lain
4. Rencana tindak lanjut (untuk terminasi sementara)



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang digunakan antara seorang perawat dengan pasiennya. Komunikasi terapeutik ini terdiri dari beberapa unsur, seperti keramahan, penggunaan nama, dapat dipercaya, otonomi dan tanggung jawab, dan asertif. Unsur-unsur tersebut didukung oleh prinsip-prinsip dari komunikasi terapeutik itu sendiri. Jadi untuk menjadi seorang perawat professional, maka semua itu diawalai dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien, maka gunakanlah bahasa komunikasi yang professional juga, yaitu komunikasi terapeutik itu sendiri.

3.2 Saran
Perawat yang memberikan pelayanan kesehatan kepada klien, hendaknya memperhatikan cara berkomunikasi dengan kliennya. Karena kesan pertama dari pelayanan sangat berpengaruh terhadap kredibilitas perawat itu sendiri. Jika ingin menjadi seorang perawat yang professional, mulailah dari cara berkomunikasi yang professional juga.



DAFTAR PUSTAKA

Ellis,R.,Gates, R, & Kenworthy,N. (2000). Komunikasi Interpersonal Dalam Keperawatan: Teori dan Praktik.Alih Bahasa: Susi Purwoko. Jakarta: EGC.
Keliat, B.A. (2002). Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. EGC, Jakarta.
Machfoedz, Mahmud. 2009. Komunikasi Keperawatan (Komunikasi Terapeutik). Yogyakarta : Ganbika
Purwaningsih, wahyu dan Ina Karlina. 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
Purwanto, H. (1998). Komunikasi untuk Perawat. EGC, Jakarta : Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta.
Stuart.G.W. & Sundeen.S.J.(1998) . Buku Saku Keperawatan Jiwa.Alih Bahasa: Achir Yani S. Hamid. ed ke-3. Jakarta: EGC.
Suryani. (2005). Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek. Jakarta, EGC.





Read More...

Klasifikasi pasien

KLASIFIKASI PASIEN, PENGHITUNGAN BOR,  ALOS DAN BTO






Disusun oleh :
Isci Verdiana : 1126010004
Atry Chernovita : 1126010011
Eda Nastaliza : 1126010012
Eka Septa Rini : 1126010015
Evan Tri Saputra : 1126010016
Anisa Soleha : 1126010025
Megy Novriadi : 1126010028
Septi Liana Sari : 1126010031
Vera Vonica : 1126010040

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN 
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU
2013

KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kita hanturkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayahnya kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini berjudul “klasifikasi pasien, penghitungan BOR, BTO dan ALOS” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah managemen keperawatan. Dalam makalah ini kami menyadari, bahwa dalam penyusunan makalah kami masih banyak kekurangan dan kesalahan, baik dari penulisan maupun materi atau isinya. Dengan demikian kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun.
Dalam penyusunan makalah ini kami juga banyak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak  karena telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.
Wassalammualaikum Wr.Wb

Bengkulu,   juni  2014



Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Klasifikasi pasien adalah metode pengelompokkan pasien menurut jumlah dan kompleksitas persyaratan perawatan mereka. Dalam banyak sistem klasifikasi, pasien dikelompokkan sesuai dengan ketergantungan mereka pada pemberi perawatan dan kemampuan yang diperlukan untuk memberikan perawatan. Tujuan klasifikasi pasien adalah untuk mengkaji pasien dan pemberian nilai untuk mengukur jumlah usaha yang diperlukan untuk memenuhi perawatan yang dibutuhkan pasien (Gillies, 1994). Menurut Swanburg, tujuan klasifikasi pasien adalah untuk menentukan jumlah dan jenis tenaga yang dibutuhkan dan menentukan nilai produktivitas.
Setiap kategori deskriptor empat perawatan (aktifitas sehari-hari, kesehatan umum, dukungan pengajar serta emosional, dan perlakuan sekitar pengobatan) dipakai untuk menunjukkan karakteristik dan tingkat perawat yang dibutuhkan pasien di dalam klasifikasi tersebut.
Bed Occupancy Ratio (BOR) merupakan angka yang menunjukkan persentase penggunaan tempat tidur (TT) di unit rawat inap (bangsal). ALOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.

1.2 Tujuan Makalah
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui tentang klasifikasi pasien, penghitungan BOR, ALOS, BTO.
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui definisi klasifikasi pasien
Untuk mengetahui tujuan system klasifikasi
Untuk mengetahui klasifikasi pasien
Untuk mengetahui penyusunan klasifikasi pasien
Untuk mengetahui faktor pendukung
Untuk mengetahui definisi penghitungan BOR
Untuk mengetahui rumus penghitungan BOR
Untuk mengetahui definisi penghitungan ALOS
Untuk mengetahui rumus penghitungan ALOS
Untuk mengetahui definisi penghitungan BTO
Untuk mengetahui rumus penghitungan BTO

1.3 Manfaat penulisan makalah
1. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuann bagi pembaca pada umumnya dan Mahasisawa STIKES TMS Bengkulu
2. Makalah ini diharapkan dapat menjadi panduan oleh mahasiswa dalam belajar managemen keperawatan


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 klasifikasi pasien
a. Definisi
Klasifikasi pasien adalah metode pengelompokkan pasien menurut jumlah dan kompleksitas persyaratan perawatan mereka. Dalam banyak sistem klasifikasi, pasien dikelompokkan sesuai dengan ketergantungan mereka pada pemberi perawatan dan kemampuan yang diperlukan untuk memberikan perawatan.

b. Tujuan Sistem klasifikasi Pasien
Tujuan klasifikasi pasien adalah untuk mengkaji pasien dan pemberian nilai untuk mengukur jumlah usaha yang diperlukan untuk memenuhi perawatan yang dibutuhkan pasien (Gillies, 1994). Menurut Swanburg, tujuan klasifikasi pasien adalah untuk menentukan jumlah dan jenis tenaga yang dibutuhkan dan menentukan nilai produktivitas.
Setiap kategori deskriptor empat perawatan (aktifitas sehari-hari, kesehatan umum, dukungan pengajar serta emosional, dan perlakuan sekitar pengobatan) dipakai untuk menunjukkan karakteristik dan tingkat perawat yang dibutuhkan pasien di dalam klasifikasi tersebut.
Klasifikasi pasien sangat menentukan perkiraan kebutuhan tenaga. Hal ini dilakukan untuk menetapkan jumlah tenaga keperawatan sesuai dengan kategori yang dibutuhkan untuk asuhan keperawatan klien di setiap unit.
Suatu system klasifikasi pasien merupakan suatu penampakan dari kelompok pasien menurut jumlah dan kelompok dari ukuran perawatan keperawatan. Dalam banyak system klasifikasi, para pasien di kelompokkan menurut ketergantungan mereka pada pemberi pelayanan atau jumlah dari waktu penerima pelayanan dan kemampuan yang diberikan dalam merawat mereka.Tujuan dari suatu system klasifikasi adalah untuk membantu para pasien, mengelompkkan mereka dengan para pasien yang memiliki kebutuhan-kebutuhan yang sama, dan menempatkan para pasien dalam setiap kelompok suatu nilai bernomor untuk menjumlahkan mereka dalam kebutuhan perawatan keperawatan. Untuk mengembangkan suatu penampakan klasifiksi yang dapat dikerjakan, para menejer harus menentukan jumlah dari kategori-kategori diamna para pasien akan diklasifikasikan, karateristik-karateristik yang diperlukan dari para pasien dalam setiap kategori, dan waktu serta keahlian yang dibutuhkan untuk memuaskan setiap sesuatu dari karateristik yang diperlukan.
c. Klasifikasi pasien
Kategori keperawatan klien menurut Swanburg (1999) terdiri dari :
1. Self-care
Klien memerlukan bantuan minimal dalam melakukan tindak keperawatan dan pengobatan. Klien melakukan aktivitas perawatan diri sendiri secara mandiri. Biasanya dibutuhkan waktu 1-2 jam dengan waktu rata-rata efektif 1,5 jam/24 jam.
2. Minimal care
Klien memerlukan bantuan sebagian dalam tindak keperawatan dan pengobatan tertentu, misalnya pemberian obat intravena, dan mengatur posisi. Biasanya dibutuhkan waktu 3-4 jam dengan waktu rata-rata efektif 3,5 jam/24 jam.
3. Intermediate care
Klien biasanya membutuhkan waktu 5-6 jam dengan waktu rata-rata efektif 5,5 jam/24 jam.
4. Mothfied intensive care
Klien biasanya membutuhkan waktu 7-8 jam dengan waktu rata-rata efektif 7,5 jam/24 jam.
5. Intensive care
Klien biasanya membutuhkan 10-14 jam dengan waktu rata-rata efektif 12 jam/24 jam.
Metode lain yang sering digunakan di Rumah Sakit adalah metode menurut Donglas (1984), yang mengklasifikasi derajat ketergantungan pasien dalam tiga kategori, yaitu perawatan miniaml, perawatan intermediate, dan perawatan maksimal atau total.
1. Perawatan minamal
Perawatan ini memerlukan waktu 1-2 jam/24 jam. Kriteria klien pada klasifikasi ini adalah klien masih dapat melakukan sendiri kebersihan diri, mandi, dan ganti pakaian, termasuk minum. Meskipun demikian klien perlu diawasi ketika melakukan ambulasi atau gerakan. Ciri-ciri lain pada klien dengan klasifikasi ini adalah observasi tanda vital dilakukan setiap shift, pengobatan minimal, status psikologis stabil, dan persiapan pprosedur memerlukan pengobatan.
2. Perawatan intermediate
Perawatan ini memerlukan waktu 3-4 jam/24 jam. Kriteria klien pada klasifikasi ini adalah klien masih perlu bantuan dalam memenuhi kebersihan diri, makan dan minum. Ambulasi serta perlunya observasi tanda vital setiap 4 jam. Disamping itu klien dalam klasifikasi ini memerlukan pengobatan lebih dan sekali. Kateter Foley atau asupan haluarannya dicatat. Dan klien dengan pemasangan infus serta persiapan pengobatan memerlukan prosedur.
3. Perawatan maksimal atau total
Perawat ini memerlukan waktu 5-6jam/24 jam. Kriteria klien pada klasifikasi ini adalah klien harus dibantu tentang segala sesuatunya. Posisi yang diatur, observasi tanda vital setiap 2 jam, makan memerlukan selang NGT (Naso Gastrik Tube), menggunakan terapi intravena, pemakaian alat penghisap (suction), dan kadang klien dalam kondisi gelisah/disorientasi.

d. Penyusunan klasifikasi
Untuk menyusun atau memilih suatu sistem klasifikasi pasien untuk kantor perwakilan atau unit, seorang menejer atau administrator harus menyeimbangkan keuntungan-keuntungan yang saling bersaing dari penghematan dan ketetapan waktu. Semakin kompleks dan tinggi penjelasan sistem klsifikasi, semakin banyak watu yang digunakan personal dalam mengkatagorikan para pasien.
Sebagian besar sistem klasifikasi pasien yang efektif adalah salah satu yang secara spesifik ditimbulkan dari situasi klinik diamana sistem ini akan digunakan . Apabila keahlian dan waktunya mengijinkan , wakil pimpinan keperawatan dari menyusun atau mengambil sistem klasifikasi pasien kantor perwakilan , Para perawat eksekutif harus mengijinkan para personal keperawatan perwakilan kantor untuk memutuskan tipe pandangan klasifikasi yang mana digunakan , mengembangkan standar-standar waktu tertentu kantor perwakilannya sendiri , menjelaskan kondisi-kondisi pasien tertentu dan elemen-elemen perawatan , serta melakukan validasi kriteria klasifikasi sebelum melaksanakan sistem.
 Tidak hanya sistem klasifiksai pasien yang harus diinduvidualisasi untuk penggunaan kantor perwakilan, tetapi juga sistem tersebut juga harus disesuaikan agar sesuai dengan tipe-tipe kebutuhan para pasien yang bebeda dalm unit-unit keperawatan yang tidak sama. Ketika sistem klasifikasi pasien GRASP digunakan dalam suatu komunitas rumah sakit timur, para perawat dalam unit psikiatrik merasa perlu untuk membuat sistem meningkatkan ketepatannya akan psikiatrik para pasien ( Ehrman, 1987).


e. Faktor pendukung
1. Penjadwalan
Metode penjadwalan siklis merupakan salah satu metode penjadwalan yang dapat digunakan untuk penjadwalan perawat. Dalam metode ini setiap perawat akan bekerja selama periode waktu tertentu dan akan berulang secara periodik.
2. Catatan personal.
Semua tindakan keperaeatan mungkiin tidak dapat dilaksanakan dalam satu kali, maka dari itu perlu adanya laporan bertahap.
3. Pengembangan anggaran
Dalam tahun anggaran hanya dapat terealisasi sekitar 16% dari anggaran yang diusulkan, pendidikan perawat dengan latar belakang spk 31%. Perawat yang mempunyai pendidikan profesi satu orang, oleh sebab itu, RS belum mempunyai perencanaan untuk pelatihan bagi tenaga perawat yang berkesinambungan dan proaktif.
4. Alokasi sumber dan pengendalian biaya
RS tetap fokus pada bisnis inti pelayanan kesehatan.
Mengatur alokasi sumber daya dibidang keperawatan secara epektif dan efisien.
mengumpulkan data untuk mengidentifikasi kegiatan layanan pasien yang sedang berjalan.
Merekomendasikan strategi untuk meningkatka untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya
5. Analisa kelompok diagnosa yang berhubungan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, dimana berdasarkan pendidikkan dan pengalamannya, perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi mencegah dan merubah status kesehatan klien.
6. Pengendalian mutu
Salahsatu cara untuk pengembangan dan pengendalian mutu keperawatan adalah dengan cara mengembangkan lahan praktek keperawatan disertai dengan adanya pembinaan masyarakat profesional keperawatan untuk melaksanakan pengalaman belajar dilapangan dengan benar bagi peserta didik.
7. Catatan pengembangan staf
Membantu RS untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna. Sehingga RS akan mempunyai tenaga yang cukup tampil untuk pengembangan pelayanan perawatan dimasa depan.
8. Model dan simulasi untuk pengambilan keputusan
DSS : Decission Support System “ Problem yang kompleks dapat diselesaikan “DSS selain dapat dapat digunakan untuk membantu user mengambil keputusan dari data yang bersifat kuantitatif, dan dapat juga digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan yang bersipat kualitatif. DSS Dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemudahan dan rintangan yang didapatkan ketika mengintegrasi perawat magang ke unit gawat darurat.
9. Rencana strategi
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi ( Iyer, Taptich & Bernocchi-Losey, 1996). Secara tradisional, rencana keperawatan diartikan sebagai suatu dokumen tulisan tangan dalam menyelasaiakan masalah,tujuan dan intervensi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, rencana keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan keperawatan kepada klien. Setiap klien yang memerlukan asuhan keperawatan perlu suatu perencanaan yang baik. Misalnya, semua klien pasca operasi memerlukan suatu pengamatan tentang pengelolaan cairan dan nyeri. Sehingga semua tindakan keperawatan harus distandarisasi. Dari Depkes R.I (1995).
10. Rencana permintaan jangka pendek dan rencana kerja
Agar tenaga kerja kesehatan terus diupdate dengan teknologi terkini dan untuk memastikan mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, tenaga kerja kesehatan membutuhkan pelatihan jangka pendek yang diselenggarakan secara reguler.
11. Evolusi program
Evolusi perkembangan sistem pelayanan kesehatan telah mengubah peran dan tanggung jawab perawat secara signifikan. Dalam perkembangan lebih lanjut, perawat dituntut untuk bertanggungjawab memberikan praktik yang aman dan epektif serta bekerja dalam lingkungan yang memiliki standar klinik yang tinggi. ( Mahlmeister, 1999 )

2.2 Penghitungan BOR ( Bed Occupancy Ratio )
a. Definisi
Bed Occupancy Ratio (BOR) merupakan angka yang menunjukkan persentase penggunaan tempat tidur (TT) di unit rawat inap (bangsal).
BOR menurut Huffman (1994) adalah “the ratio of patient service days to inpatient bed count days in a period under consideration”. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
b. Batasan Penghitungan BOR
Umumnya, hal-hal yang berkaitan dengan bayi baru lahir (perinatal) akan dicatat; dihitung; dan dilaporkan secara terpisah. Jadi, jumlah TT dalam rumus BOR tidak termasuk TT bayi baru lahir (bassinet) dan jumlah hari perawatan (HP) dalam rumus BOR juga tidak termasuk HP bayi baru lahir.Apabila menggunakan data dari lembar laporan RL-1, maka jumlah HP diambil dibaris SUB TOTAL (yaitu baris sebelum ditambah perinatologi), bukan baris TOTAL. Periode penghitungan BOR ditentukan berdasarkan kebijakan internal RS, bisa bulanan, tribulan, semester, atau bahkan tahunan.
Lingkup penghitungan BOR juga ditentukan berdasarkan kebijakan internal RS, misalnya BOR per bangsal atau BOR untuk lingkup rumah sakit (seluruh bangsal).

c. Rumus Penghitungan BOR
(jumlah hari perawatan di rumah sakit) × 100%
(jlh tempat tidur × jlh hari dalam satu periode)


d. Nilai ideal BOR
Semakin tinggi nilai BOR berarti semakin tinggi pula penggunaan TT yang ada untuk perawatan pasien. Namun perlu diperhatikan bahwa semakin banyak pasien yang dilayani berarti semakin sibuk dan semakin berat pula beban kerja petugas di unit tersebut.
Akibatnya, pasien bisa kurang mendapat perhatian yang dibutuhkan (kepuasan pasien menurun) dan kemungkinan infeksi nosokomial juga meningkat.
Disisi lain, semakin rendah BOR berarti semakin sedikit TT yang digunakan untuk merawat pasien dibandingkan dengan TT yang telah disediakan. Jumlah pasien yang sedikit ini bisa menimbulkan kesulitan pendapatan ekonomi bagi pihak RS.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas maka perlu adanya suatu nilai ideal yang menyeimbangkan kualitas medis, kepuasan pasien, keselamatan pasien, dan aspek pendapatan ekonomi bagi pihak RS.
Nilai ideal untuk BOR yang disarankan adalah 75% - 85%. Angka ini sebenarnya tidak bisa langsung digunakan begitu saja untuk semua jenis RS. RS penyakit khusus tentu beda polanya dengan RSU. Begitu pula RS disuatu daerah tentu beda penilaian tingkat “kesuksesan” BOR-nya dengan daerah lain. Hal ini bisa dimungkinkan karena perbedaan sosial budaya dan ekonomi setempat.

2.3 Penghitungan ALOS  (Average Length of Stay)
a. Definisi
ALOS menurut Huffman (1994) adalah “The average hospitalization stay of inpatient discharged during the period under consideration”. ALOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai ALOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).
(jumlah lama dirawat)
(jlh pasien keluar (hidup + mati))

b. Rumus



2.4 Penghitungan BTO ( Bed Turn Over )
a. Definisi
BTO menurut Huffman (1994) adalah “…the net effect of changed in occupancy rate and length of stay”. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.
b. Rumus
Jumlah pasien dirawat (hidup + mati)
(jumlah tempat tidur)



BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Klasifikasi pasien adalah metode pengelompokkan pasien menurut jumlah dan kompleksitas persyaratan perawatan mereka. Dalam banyak sistem klasifikasi, pasien dikelompokkan sesuai dengan ketergantungan mereka pada pemberi perawatan dan kemampuan yang diperlukan untuk memberikan perawatan. Tujuan dilakukan klasifikasi pasien untuk mengkaji pasien dan pemberian nilai untuk mengukur jumlah usaha yang diperlukan untuk memenuhi perawatan yang dibutuhkan pasien.
Bed Occupancy Ratio (BOR) merupakan angka yang menunjukkan persentase penggunaan tempat tidur (TT) di unit rawat inap (bangsal). ALOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.

3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi referensi bagi para mahasiswa keperawatan maupun pembacanya dalam pembuatan makalah klasifikasi pasien, penghitungan BOR, ALOS, dan BTO dalam mata kuliah managemen keperawatan.
Kami sebagai penyusun menyadari adanya kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembacanya bagi kami sebagai penyusun makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

http://sukardjoskmmkes.blogspot.com/2011/12/aplikasi-sistem-klasifikasi-pasien.html
http://sukardjoskmmkes.blogspot.com/2011/12/klasifikasi-pasien.html

Read More...

Pre dan Post Konfre

MAKALAH PRE DAN POST KONFRE


Disusun oleh kelompok: II
Irawan okman :1126010005
Hili riza :1126010006
Yeni paramitha :1126010007
Eliya yusnita :1126010009
Dian puspita sari :1126010014
Kiki sumana lestari :11260100
Leni rahmawati :1126010026
Suhermanto ekaprayanda :1126010027
Fitri ahnita s :11260100
Fauzan azim :12266010133

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2014


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan “pre dan post konfre” Tepat pada waktunya, salawat beserta salam semoga teteap di limpahkan pada kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelompok baik bantuan moral dan material dalam penyusunan makalah ini, di dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kami sangat menharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan semuanya demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan khususya mahasiswa Stikes Tri Mandiri Sakti Bengkulu. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bengkulu,   juni  2014

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latarbelakang
Pre conference adalah komunikasi katim dan perawat pelaksana setelah selesai operan untuk rencana kegiatan pada shift tersebut yang dipimpin oleh ketua tim atau penanggung jawab tim. Jika yang dinas pada tim tersebut hanya satu orang, maka pre conference ditiadakan. Isi pre conference adalah rencana tiap perawat (rencana harian), dan tambahan rencana dari katim dan PJ tim(Modul MPKP, 2006).
Pre-konferens merupakan tahapan sebelum melakukan konferens yang akan dilakukan oleh para instruktur klinis dimana akan dijelaskan apa yang akan dilakukan oleh setiap mahasiswa sebelum melakukan tindakan keperawatan. Sedangkan dalam Pre-konferens para instruktur klinis harus sudah menyiapkan apa yang akan dibahas dalam konferens sehingga tidak banyak waktu yang terbuang. Pada makalah ini akan di bahas mengenai pre dan post kompre.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah yaitu :
1. Apakah pengertian pre dan post komfre ?
2. Apakah tujuan dari pre dan post konfre ?
3. Apakah gejala syarat pre dan post konfre ?
4. Bagaimana pedoman pelaksanaan ?
5. Bagaimana penanganan tuntutan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaa pre dan postkonfre ?
6. Bagaimana kegiatan ketua tim dalam pre dan post konfre ini ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui :
1. Definisi
2. Tujuan pre dan post konfre
3. Syarat pre dan post konfre
4. Pedoman pelaksanaan conference
5. Tuntutan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pre dan post konfe
6. Kegiatan ketua tim pada fase pre dan post konfre
7. Hal-hal yang disampaikan oleh perawat
8. Hal-hal yang di sampaikan oleh ketua tim




BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Pre conference adalah komunikasi katim dan perawat pelaksana setelah selesai operan untuk rencana kegiatan pada shift tersebut yang dipimpin oleh ketua tim atau penanggung jawab tim. Jika yang dinas pada tim tersebut hanya satu orang, maka pre conference ditiadakan. Isi pre conference adalah rencana tiap perawat (rencana harian), dan tambahan rencana dari katim dan PJ tim(Modul MPKP, 2006).
Pre-konferens merupakan tahapan sebelum melakukan konferens yang akan dilakukan oleh para instruktur klinis dimana akan dijelaskan apa yang akan dilakukan oleh setiap mahasiswa sebelum melakukan tindakan keperawatan. Sedangkan dalam Pre-konferens para instruktur klinis harus sudah menyiapkan apa yang akan dibahas dalam konferens sehingga tidak banyak waktu yang terbuang.
Fase pre-konferens, esensinya adalah aktivitas kelompok kecil, yang didalamnya terkandung unsur fasilitasi dari instruktur klinis. Kelompok kecil siswa tersebut dalam melaksanakan program pendidikan keperawatan harus benar-benar memperhatikan hal yang akan dibahas pada fase pre-konferens. Pada saat instruktur klinis merencanakan fase pre-konferens dengan kelompok kecil siswa tentang suatu topik.
Post conference adalah komunikasi katim dan perawat pelaksana tentang hasil kegiatan sepanjang shift dan sebelum operan kepada shift berikut. Isi post conference adalah hasil askep tiap perawatan dan hal penting untuk operan (tindak lanjut). Post conference dipimpin oleh katim atau Pj tim (Modul MPKP, 2006).
Pos konferens adalah fase dimana dari hasil pembahasan di buat evaluasi. Setiap mahasiswa harus mampu melakukan evaluasi dari setiap konferens yang sudah dilaksanakan sehingga mahasiswa tahu apa yang harus dilakukan berikutnya. Pembahasan yang sudah dibuat akan menjadi acuan untuk bisa berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang timbul dari setiap tindakan selama berpraktek.
Pos konferens merupakan kesempatan dari mahasiswa untuk bertanya dan menyelesaikan masalah saat berdiskusi. Setiap mahasiswa mempunyai masalah selama berpraktek dan inbstruktur klinis memberikan arahan setelah berdiskusi bersama untuk mencari penyelesaian dari setiap masalah tersebut. Para instruktur klinis memberikan pembahasan yang bisa mahasiswa diskusikan bersama masalah dan membuat evaluasi dari setiap diskusi.

B. Tujuan pre dan post konfre
Secara umum tujuan konferensi adalah untuk menganalisa masalah-masalah secara kritis dan menjabarkan alternatif penyelesaian masalah, mendapatkan gambaran berbagai situasi lapangan yang dapat menjadi masukan untuk menyusun rencana antisipasi sehingga dapat meningkatkan kesiapan diri dalam pemberian asuhan keperawatan dan merupakan cara yang efektif untuk menghasilkan perubahan non kognitif (McKeachie, 1962).
Juga membantu koordinasi dalam rencana pemberian asuhan keperawatan sehingga tidak terjadi pengulangan asuhan, kebingungan dan frustasi bagi pemberi asuhan (T.M. Marelli, et.al, 1997).

a. Tujuan pre konfre adalah:
1) Membantu untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien, merencanakan asuhan dan merencanakan evaluasi hasil
2) Mempersiapkan hal-hal yang akan ditemui di lapangan
3) Memberikan kesempatan untuk berdiskusi tentang keadaan pasien
4) bagi mahasiswa yaitu menyiapkan mahasiswa untuk pembelajaran pada setting klinik,
5) menyiapkan mahasiswa untuk aktivitas penugasan klinik.
6) menyiapkan mahasiswa untuk pengalaman praktek klinik.

b. Tujuan post conference adalah:
1) Untuk memberikan kesempatan mendiskusikan penyelesaian masalah dan membandingkan masalah yang dijumpai.

C. Syarat pre dan post konfre
Syarat Pre dan Post Conference yaitu:
1. Pre conference dilaksanakan sebelum pemberian asuhan keperawatan dan post conference dilakukan sesudah pemberian asuhan keperawatan.
2. Waktu efektif yang diperlukan 10 atau 15 menit.
3. Topik yang dibicarakan harus dibatasi, umumnya tentang keadaan pasien, perencanaan tindakan rencana dan data-data yang perlu ditambahkan.
4. Yang terlibat dalam conference adalah kepala ruangan, ketua tim dan anggota tim.


D. Pedoman pelaksanaan conference
1. Sebelum dimulai, tujuan conference harus dijelaskan
2. Diskusi harus mencerminkan proses dan dinamika kelompok
3. Pemimpin mempunyai peran untuk menjaga fokus diskusi tanpa mendominasi dan memberi umpan balik
4. Pemimpin harus merencanakan topik yang penting secara periodik
5. Ciptakan suasana diskusi yang mendukung peran serta, keinginan mengambil tanggung jawab dan menerima pendekatan serta pendapat yang berbeda
6. Raung diskusi diatur sehingga dapat tatap muka pada saat diskusi
7. . Frekuensi pre-konferens yaitu apakah dilakukan setiap hari sebelum praktek klinik atau pada awal mahasiswa akan melaksanakan praktek klinik saja.
8. Tingkat pengetahuan dan keterampilan mahasiswa menentukan seberapa sering di perlukan fase pre-konferens.
9. Waktu yang diperlukan untuk setiap mahasiswa seharusnya sama atau mungkin dapat diperpanjang. Cara lebih efektif dengan penggunaan waktu sekitar 20 menit sampai satu jam untuk diskusi.
10. Waktu apakah dilakukan setiap hari, jam tujuh misalnya sebelum praktek klinik.
11. Lokasi terdapat keuntungan apabila pre-konferens dilakukan pada lokasi yang berdekatan dengan tempat praktek. Salah satu keuntungannya adalah mengurangi jumlah waktu yang diperlukan untuk pergi ke lahan praktek. Perlu di ingat bahwa keadaan fisik yang nyaman atau baik dari sisi mahasiswa adalah kondisis yang baik bagi proses belajar mengajar termasuk untuk praktek klinik..
12.      Bila memungkinkan, libatkan staf ruangan tempat praktek untuk menjelaskan dan    negosiasi program dalam hubungannya dengan penggunaan fasilitas yang ada.
13. Pada saat menyimpulkan conference, ringkasan diberikan oleh pemimpin dan kesesuaiannya dengan situasi lapangan.

E. Tuntutan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pre dan post konferens
adalah sebagai berikut :
a. Tujuan yang telah di buat dalam konferens seharusnya di konfirmasikan terlebih dahulu..
b. Diskusikan yang di lakukan seharusnya merefleksikan prinsip-prinsip kelompok yang dinamis.
c. Instruktur klinis memiliki peran dalam kelangsungan diskusi dengan berpegang kepada fokus yang di bicarakan, tanpa mendomisilinya dan memberikan umpan balik yang di perlukan secara tepat.
d. Instruktur klinis harus memberikan penekanan-penekanan pada poin-poin penting selama diskusi berlansung.
e. Atmosfer diskusi seharusnya mendukung bagi partisipasi kelompok, mengandung keinginan anggota diskusi untuk memberikan responsnya dan menerima pendapat atau pandangan yang berbedauntuk selanjutnya mencari persamaannya.
f. Besar kelompok seharusnya di batasi 10-12 orang untuk memelihara pertukaran ide-ide pemikiran yang ade kuat di antara mereka.
g. Usahakan antara anggota kelompok dapat bertatapan langsung ( face to face).
h. Pada kesimpulan akhir dari konferens, ringkasan dan kesimpulan seharusnya berikan oleh instruktur klinis atau siswa dengan mengacu pada tujuan pembelajaran dan sifat applicability pada situasi dan kondisi yang lain.


F. Kegiatan ketua tim pada fase pre dan post konfre
1.  Fase pre konfre
a. Ketua tim atau Pj tim membuka acara
b. Ketua tim atau pj tim menanjakan rencana harian masing – masing perawat pelaksana
c. Ketua tim atau Pj tim memberikan masukan dan tindakan lanjut terkait dengan asuhan yang diberikan saat itu.
d. Ketua tim atau Pj tim memberikan reinforcement.
e. Ketua tim atau Pj tim menutup acara

2. Fase post konfre
a. Ketua tim atau Pj tim membuka acara.
b. Ketua tim atau Pj tim menanyakan kendala dalam asuhan yang telah diberikan.
c. Ketua tim atau Pj tim yang menanyakan tindakan lanjut asuhan klien yang harus dioperkan kepada perawat shift berikutnya.
d. Ketua tim atau Pj menutup acara.
G. Hal-hal yang disampaikan oleh perawat pelaksana meliputi
1. Data utama klien
2. Keluhan klien
3. TTV dan kesadaran
4. Hasil pemeriksaan laboraturium atau diagnostic terbaru.
5. Masalah keperawatan
6. Rencana keperawatan hari ini.
7. Perubahan keadaan terapi medis.
8. Rencana medis.

H. Hal-hal yang di sampaikan oleh ketua tim
1. Ketua tim mendikusikan dan mengarahkan perawat asosiet tentang masalah yang terkait dengan perawatan klien yang meliputi :
a. Klien yang terkait dengan pelayanan seperti : keterlambatan, kesalahan pemberian makan, kebisikan pengunjung lain, kehadiran dokter yang dikonsulkan.
b. Ketepatan pemberian infuse.
c. Ketepatan pemantauan asupan dan pengeluaran cairan.
d. Ketepatan pemberian obat / injeksi.
e. Ketepatan pelaksanaan tindakan lain,
f. Ketepatan dokumentasi.
g. Mengiatkan kembali standar prosedur yang ditetapkan.
2. Mengiatkan kembali tentang kedisiplinan, ketelitian, kejujuran dan kemajuan masing –masing perawatan asosiet.
3. Membantu perawatan asosiet menyelesaikan masalaah yang tidak dapat diselesaikan.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fase pre-konfre, esensinya adalah aktivitas kelompok kecil, yang didalamnya terkandung unsur fasilitasi dari instruktur klinis. Kelompok kecil siswa tersebut dalam melaksanakan program pendidikan keperawatan harus benar-benar memperhatikan hal yang akan dibahas pada fase pre-konferens. Pada saat instruktur klinis merencanakan fase pre-konferens dengan kelompok kecil siswa tentang suatu topik.
Post conference adalah komunikasi katim dan perawat pelaksana tentang hasil kegiatan sepanjang shift dan sebelum operan kepada shift berikut. Isi post conference adalah hasil askep tiap perawatan dan hal penting untuk operan (tindak lanjut). Post conference dipimpin oleh katim atau Pj tim (Modul MPKP, 2006).

B. saran
Berdasarkan kesimpulan diatas penulis mengharapkan kepada teman-teman ataupun pembaca agar makalah kami ini dapat bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan  makalah kami ini.


DAFTAR PUSTAKA
http//:www.google.com.managemen keperawatan 30 mei2014
http//:www.google.com.pre dan post konfre 26mei2014


Read More...

Ronde Keperawatan

MAKALAH
RONDE KEPERAWATAN




Oleh Kelompok 1
Serli Pupita Sari 1126010001
Susi Murni Pratami 1126010002
Veni Alvanita Cd 11260100
Devi Oktarina 1126010019
Ajeng Siswandi 11260100
Anggit Prasetyo 11260100
Misi  lasita 11260100
Oma Tresatrio 11260100
Recca sandiana R. 11260100
Ratna Afrianti 11260100
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES MANDIRI SAKTI BENGKULU
2014


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “TEORI RONDE KEPERAWATAN”  mata kuliah  “ MANAGEMEN KEPERAWATAN” Tepat pada waktunya, salawat beserta salam semoga tetap di limpahkan pada kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelompok baik bantuan moral dan material dalam penyusunan makalah ini, di dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kami sangat menharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan semuanya demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan khususya mahasiswa Stikes Tri Mandiri Sakti Bengkulu. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.




Bengkulu,   Mei 2014

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Manajemen adalah suatu upaca kegiatan untuk mengarahkan, mengkoordinasi, mengarahkan dan mengawasi dalam mencapai tujuan bersama dalam sebuah organisasi. Manajemen keperawatan adalah upaya staf keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan, pengobatan, dan rasa aman kepada pasien, keluarga, serta masyarakat. Manajemen sangat penting diterapkan di dalam ruangan agar semua kegiatan tertata rapid an terarah, sehingga tujuan dapat dicapai bersama, yaitu menciptakan suasana yang aman dan nyaman baik kepada sesama staf keperawatan maupun pasien.
Dalam pelaksanaan manajemen terdapat model praktik keperawatan professional ( MPKP ) yang di dalamnya terdapat kegiatan ronde keperawatan. Ronde keperawatan adalah suatu kegiatan dimana perawat primer dan perawat asosiet bekerja sama untuk menyelesaikan masalah klien, dank lien dilibatkan secara langsung dalam proses penyelesaian masalah tersebut. Ronde keperawatan diperlukan agar masalah klien dapat teratasi dengan baik, sehingga semua kebutuhan dasar klien dapat terpenuhi. Perawat professional harus dapat menerapkan ronde keperawatan, sehingga role play tentang ronde keperawatan ini sangat perlu dilakukan agar mahasiswa paham mengenai ronde keperawatan dan dapat mengaplikasikannya kelak saat bekerja.

B.     TUJUAN
a. Tujuan Umum:
Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Management Keperawatan.

b. Tujuan Khusus:
Adapaun tujun yang dicapai setelah penyampaian materi tentang Ronde Keperwatan diharapkan mahasiswa mampu:
a.       Mengetahui dan memahami pengertian ronde keperawatan
b.      Mengetahui dan memahami karakteristik ronde keperawatan
c.       Mengetahui tujuan ronde keperawatan
d.      Mengetahui manfaat ronde keperawatan
e.       Mengetahui dan memahami tipe-tipe ronde keperawatan
f.       Mengetahui dan memahami tahapan ronde keperawatan
g.      Mengetahui hal-hal yang harus dipersiapkan dalam ronde keperawatan
h.      Mengetahui komponen yang terlibat dalam ronde keperawatan


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    PENGERTIAN RONDE KEPERAWATAN
Beberapa ahli mengungkapkan pengertian dari ronde keperawatan. Chambliss (1996), ronde keperawatan adalah pertemuan antara staff yang usai kerja melaporkan pada staf yang mulai kerja tentang kondisi pasien, dengan staf menjelaskan apa yang telah dilakukan dan mengapa dilakukan yang membawa setiap kasus ke dalam kerangka kerja berfikir staf, dan secara sistematis menegakkan kemampuan sistem untuk menangani masalah medis.
Didalam ronde keperawatan terjadi proses interaksi antara perawat dengan perawat, perawat dengan pasien. Kozier et al. (2004) menyatakan bahwa ronde keperawatan merupakan prosedur dimana dua atau lebih perawat mengunjungi pasien untuk mendapatkan informasi yang akan membantu dalam merencanakan pelayanan keperawatan dan memberikan kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan masalah keperawatannya serta mengevaluasi pelayanan keperawatan yang telah diterima pasien.
Ronde keperawatan merupakan proses interaksi antara pengajar dan perawat atau siswa perawat dimana terjadi proses pembelajaran. Ronde keperawatan dilakukan oleh teacher nurse atau head nurs dengan anggota stafnya atau siswa untuk pemahaman yang jelas tentang penyakit dan efek perawatan untuk setiap pasien (Clement, 2011). Ronde keperawatan adalah suatu kegiatan untuk mengatasi keperawatan klien yang dilaksanakan oleh perawat dengan melibatkan pasien untuk membahas & melaksanakan asuhan keperawatan, yang dilakukan oleh Perawat Primer dan atau konsuler, kepala ruang, dan Perawat pelaksana, serta melibatkan seluruh anggota tim.Ronde keperawatan merupakan suatu metode pembelajaran klinik yang memungkinkan peserta didik mentransfer dan mengaplikasikan pengetahuan teoritis ke dalam peraktik keperawatan secara langsung.




B.     Karakteristik ronde keperawatan
Ronde keperawatan mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut ini:
1)      Klien dilibatkan secara langsung
2)      Klien merupakan fokus kegiatan
3)      Perawat aosiaet, perawat primer dan konsuler melakukan diskusi bersama
4)      Kosuler memfasilitasi kreatifitas
5)      Konsuler membantu mengembangkan kemampuan perawat asosiet, perawat
6)      Primer untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah.

C.    Tujuan Ronde Keperawatan
Tujuan dari pelaksanaan ronde keperawatan terbagi menjadi 2 yaitu: tujuan bagi perawat dan tujuan bagi pasien. Tujuan ronde keperawatan bagi perawat menurut Armola et al. (2010) adalah:
1)      Melihat kemampuan staf dalam managemen pasien
2)      Mendukung pengembangan profesional dan peluang pertumbuhan
3)      Meningkatkan pengetahuan perawat dengan menyajikan dalam format studi kasus
4)      Menyediakan kesempatan pada staf perawat untuk belajar meningkatkan penilaian keterampilan klinis
5)      Membangun kerjasama dan rasa hormat, serta
6)      Meningkatkan retensi perawat berpengalaman dan mempromosikan kebanggaan dalam profesi keperawatan

Ronde keperawatan selain berguna bagi perawat juga berguna bagi pasien. Hal ini dijelaskan oleh Clement (2011) mengenai tujuan pelaksanaan ronde keperawatan bagi pasien, yaitu:
1)      Untuk mengamati kondisi fisik dan mental pasien dan kemajuan hari ke hari
2)      Untuk mengamati pekerjaan staff
3)      Untuk membuat pengamatan khusus bagi pasien dan memberikan laporan kepada dokter mengenai, missal: luka, drainasi, perdarahan, dsb.
4)      Untuk memperkenalkan pasien ke petugas dan sebaliknya
5)      Untuk melaksanakan rencana yang dibuat untuk perawatan pasien
6)      Untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan kepuasan pasien
7)      Untuk memastikan bahwa langkah-langkah keamanan yang diberikan kepada pasien
8)      Untuk memeriksakan kondisi pasien sehingga dapat dicegah, seperti ulcus decubitus, foot drop, dsb
9)      Untuk membandingkan manifestasi klinis penyakit pada pasien sehingga perawat memperoleh wawasan yang lebih baik
10)  Untuk memodifikasi tindakan keperawatan yang diberikan

D.    Manfaat Ronde Keperawatan
Banyak manfaat dengan dilakukannya ronde keperawatan oleh perawat, diantaranya:
a)      Ronde keperawatan dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pada perawat. Clement (2011) menyebutkan manfaat ronde keperawatan adalah membantu mengembangkan keterampilan keperawatan, selain itu menurut Wolak et al. (2008) denga adanya ronede keperawatan akan menguji pengetahuan perawat. Peningkatan ini bukan hanya keterampilan dan pengetahuan keperawatan saja, tetapi juga peningkatan secara menyeluruh. Hal ini dijelaskan oleh Wolak et al. (2008) peninkatan kemampuan perawat bukan hanya keterampilan keperawatan tetapi juga memberikan kesempatan pada perawat untuk tumbuh dan berkembang secara profisonal.
b)      Melalui kegiatan ronde keperwatan, perawat dapat mengevaluasi kegiatan yang telah diberikan pada pasien berhasil atau tidak. Clement (2011) melalui ronde keperawatan, evaluasi kegiatan,rintangan yang dihadapi oelh perawat atau keberhasilan dalam asuhan keperawatan dapat dinilai. Hal ini juga ditegaskan oleh O’connor (2006) pasien sebagai alat untuk menggambarkan parameter penilaian atau teknik intervensi.
c)      Ronde keperawatan merupakan sarana belajar bagi perawat dan mahasiswa perawat. Ronde keperawatan merupakan studi percontohan yang menyediakan sarana untuk menilai pelaksanaan keperawatan yang dilakukan oleh perawat (Wolak et al, 2008). Sedangkan bagi mahasiswa perawat dengan ronde keperawatan akan mendapat pengalaman secara nyata dilapangan (Clement, 2011).
d)     Manfaat ronde keperawatan yang lain adalah membanu mengorientasikan perawat baru pada pasien. Banyak perawat yang baru masuk tidak mengetahui mengenai pasien yang dirawat di ruangan. Dengan ronde keperawatan hal ini bisa dicegah, ronde keperwatan membantu mengorientasikan perawat baru pada pasien (Clement, 2011).
e)      Ronde keperawatan juga meningkatkan kepuasan pasien. Penelitian Febriana (2009) ronde keperwatan meningkatkan kepuasan pasien lima kali dibanding tidak lakukan ronde keperawatan. Chaboyer et al. (2009) dengan tindakan ronde keperawatan menurunkan angka insiden pada pasien yang dirawat.  

E.     Tipe-tipe Ronde
Berbagai macam tipe ronde keperawatan dikenal dalam studi kepustakaan. Diantaranya adalah menurut Close dan Castledine (2005) ada empat tipe ronde yaitu matrons’ rounds,  nurse management rounds,  patient comfort rounds dan teaching nurse.
a.       Matron nurse menurut Close dan Castledine (2005) seorang perawat berkeliling ke ruangan-ruangan, menanyakan kondisi pasien sesuai jadwal rondenya. Yang dilakukan perawat ronde ini adalah memeriksa standart pelayanan, kebersihan dan kerapihan, dan menilai penampilan dan kemajuan perawat dalam memberikan pelayanan pada pasien.
b.      Nurse management rounds menurut Close dan Castledine (2005) ronde ini adalah ronde manajerial yang melihat pada rencana pengobatan dan implementasi pada sekelompok pasien. Untuk melihat prioritas tindakan yang telah dilakukan serta melibatkan pasien dan keluarga pada proses interaksi. Pada ronde ini tidak terjadi proses pembelajaran antara perawat dan head nurse.
c.       Patient comport nurse menurut Close dan Castledine (2005) ronde disini berfokus pada kebutuhan utama yang diperlukan pasien di rumah sakit.  Fungsi perawat dalam ronde ini adalah memenuhi semua kebutuhan pasien. Misalnya ketika ronde dilakukan dimalam hari, perawat menyiapkan tempat tidur untuk pasien tidur.
d.      Teaching rounds menurut Close dan Castledine (2005) dilakukan antara teacher nurse dengan perawat atau mahasiswa perawat, dimana terjadi proses pembelajaran. Teknik ronde ini biasa dilakukan oleh perawat atau mahasiswa perawat. Dengan pembelajaran langsung. Perawat atau mahasiswa dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang didapat langsung pada pasien.

Daniel (2004) walking round yang terdiri dari nursing round, physician-nurse rounds atau interdisciplinary rounds. Nursing rounds adalah ronde yang dilakukan antara perawat dengan perawat. Physician-nurse adalah ronde pada pasien yang dilakukan oleh dokter dengan perawat, sedangkan interdisciplinary rounds adalah ronde pada pasien yang dilakukan oleh berbagai macam tenaga kesehatan meliputi dokter, perawat, ahli gizi serta fisioterapi, dsb.

F.      TAHAPAN RONDE KEPERAWATAN
Ramani (2003), tahapan ronde keperawatan adalah :
1)      Pre-rounds, meliputi: preparation (persiapan), planning (perencanaan), orientation (orientasi).
2)      Rounds, meliputi: introduction (pendahuluan), interaction (interaksi), observation (pengamatan), instruction (pengajaran), summarizing (kesimpulan).
3)      Post-rounds, meliputi: debriefing (tanya jawab), feedback (saran), reflection (refleksi), preparation (persiapan).

Langkah-langkah Ronde Keperawatan adalah sebagai berikut:
1.      Persiapan
1)      Penetapan kasus minimal 1 hari sebelum waktu pelaksanaan ronde.
2)      Pemberian inform consent kepada klien/ keluarga.
2.      Pelaksanaan
1)      Penjelasan tentang klien oleh perawat primer dalam hal ini penjelasan difokuskan pada masalah keperawatan dan rencana tindakan yang akan/ telah dilaksanakan dan memilih prioritas yang perlu didiskusikan.
2)      Diskusikan antar anggota tim tentang kasus tersebut.
3)      Pemberian justifikasi oleh perawat primer/ perawat konselor/ kepala ruangan tentang masalah klien serta tindakan yang akan dilakukan.
4)      Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah dan yang akan ditetapkan.
3.      Pasca Ronde
Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan tindakan yang perlu dilakukan.
4.      Kriteria Evaluasi
Kriteria evaluasi pada pelaksanaan ronde keperawatan adalah sebagai berikut.
1)      Struktur
a.       Persyaratan administratif (informed consent, alat dan lainnya).
b.      Tim ronde keperawatan hadir ditempat pelaksanaan ronde keperawatan.
c.       Persiapan dilakukan sebelumnya.
2)      Proses
a.       Peserta mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir.
b.      Seluruh perserta berperan aktif dalam kegiatan ronde sesuai peran yang telah ditentukan.
3)      Hasil
a.       Klien merasa puas dengan hasil pelayanan.
b.      Masalah klien dapat teratasi.
c.       Perawat dapat :
Menumbuhkan cara berpikir yang kritis.
Meningkatkan cara berpikir yang sistematis.
Meningkatkan kemampuan validitas data klien.
Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosis keperawatan.
Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berorientasi pada masalah klien.
Meningkatkan kemampuan memodifikasi rencana asuhan keperawatan.
Meningkatkan kemampuan justifikasi.
Meningkatkan kemampuan menilai hasil kerja.


G.    HAL YANG DIPERSIAPKAN DALAM RONDE KEPERAWATAN
Supaya ronde keperawatan yang dilakukan berhasil, maka bisa dilakukan persiapan sebagai berikut:
a.       Menentukan kasus dan topik (masalah yang tidak teratasi dan masalah yang langka).
b.      Menentukan tim ronde keperawatan.
c.       Mencari sumber atau literatur.
d.      Membuat proposal.
e.       Mempersiapkan klien : informed consent dan pengkajian.
f.       Diskusi : apa diagnosis keperawatan ?; Apa data yang mendukung ?; Bagaimana intervensi yang sudah dilakukan?; Apa hambatan yang ditemukan selama perawatan?

H.    KOMPONEN TERLIBAT DALAM RONDE KEPERAWATAN
Komponen yang terlibat dalam kegiatan ronde keperawatan ini adalah perawat primer dan perawat konselor, kepala ruangan, perawat associate, yang perlu juga melibatkan seluruh anggota tim kesehatan lainnya.
a)      Peran Ketua Tim dan Anggota Tim
1.      Menjelaskan keadaan dan data demografi klien.
2.      Menjelaskan masalah keperawata utama.
3.      Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan.
4.      Menjelaskan tindakan selanjutnya.
5.      Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil.

b)      Peran Ketua Tim Lain dan/Konselor
1. Perawat primer (ketua tim) dan perawat asosiet (anggota tim)
Dalam menjalankan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan yang bisa untuk memaksimalkan keberhasilan yang bisa disebutkan antara lain :
1.      Menjelaskan keadaan dan adta demografi klien
2.      Menjelaskan masalah keperawatan utama
3.      Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan
4.      Menjelaskan tindakan selanjtunya
5.      Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil

c). Peran perawat primer (ketua tim) lain dan atau konsuler
1.      Memberikan justifikasi
2.      Memberikan reinforcement
3.      Menilai kebenaran dari suatu masalah, intervensi keperawatan serta tindakan yang rasional
4.      Mengarahkan dan koreksi
5.      Mengintegrasikan teori dan konsep yang telah dipelajari
Selain perawat, pasien juga dilibatkan dalam kegiatan ronde keperawatan ini untuk membahas dan melaksanakan asuhan keperawatan.

I. KRITERIA PASIEN
Pasien yang dipilih untuk yang dilakukan ronde keperawatan adalah pasien yang memiliki kriteria sebagai berikut :
Mempunyai masalah keperawatan yang belum teratasi meskipun sudah dilakukan tindakan keperawatan
Pasien dengan kasus baru atau langka

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ronde keperawatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang dilaksanakan oleh perawat, disamping pasien dilibatkan untuk membahas dan melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh perawat primer atau konselor, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga melibatkan seluruh anggota tim.

B.     Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi Ronde Keperwatan yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi kesempurnaan dalam penulisan dan penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Nursalam. (2011).Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika

Sitorus R. & Yulia. 2005. Model praktek keperawatan profesional di Rumah Sakit Panduan Implementasi. Jakarta: EGC

Ratna Sitorus, 2005, Model Praktek Keperawatan Profesional di Rumah Sakit. Jakarta:EGC
Nursalam dan Ferry Efendi. 2009. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Kinchay, A. (2012). www.scribd.com. Retrieved april 28, 2014, from http://www.scribd.com/doc/76643445/RONDE-KEPERAWATAN

Read More...