SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Selasa, 04 November 2014

Askep peritonitis

SISTEM PENCERNAAN
“ASKEP PERITONITIS”



Di Susun Oleh : Kelompok 10
Satrio Noviansyah 1126010034
Vera Vonica 1126010040
Fauzan Azim 1226010153
Melisa Riananda 1026010080
Jhon Edward 1026010118
Ariko Bintara 1026010161

PROGRAM ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN 
TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU
2012/2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat atau sistemik dengan syok sepsis. 
Biasanya peritonitis disebabkan akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau, pada wanita : dari organ reproduktif internal. Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma ( misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal. Bakteri paling umum yang terlibat adalah E. Coli, Klebsiella, Proteus, dan Pseudomonas. Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.
Dengan demikian, kita selaku perawat hendaknya mengetahui apa saja asuhan keperawatan terhadap pasien dengan penyakit peritonitis. Sehingga dampak lain yang ditimbulkan bisa teratasi dan dapat menunjang proses perawatan terhadap pasien/klien.
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui Pengertian Peritonitis
Untuk mengetahui Etiologi Peritonitis
Untuk mengetahui Patofisiologi Peritonitis 
Untuk mengetahui Manisfestasi Klinis 
Untuk mengetahui WOC Peritonitis 
Untuk mengetahui Komplikasi Peritonitis 
Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang 
Untuk mengetahui Penatalaksanaan 
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Peritonitis

BAB II
ISI

2.1 Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen) dan organ didalamnya. (Arif Muttaqin, 2011)
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera. (Brunner dan Suddarth, 2001)

2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum. Kuman yang paling sering menyebabkan infeksi, meliputi gram negatif: Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%), dan gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%. (Cholongitas, 2005)
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan oleh berbagai kelainan pada gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen (Rotstein, 1997) atau perforasi organ pascatrauma abdomen (Ivatury, 1998)
Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau, pada wanita : dari organ reproduktif internal. Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma ( misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal. Bakteri paling umum yang terlibat adalah E. Coli, Klebsiella, Proteus, dan Pseudomonas. Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal. (Brunner dan Suddarth, 2001)

2.3 Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen (peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat dikarantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme pembersihan oleh tubuh (van Goor, 1998)
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis. Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukkan bahwa infeksi nosokomial di organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinan pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy, 2008)
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik (Price, 1995)
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia (finlay,1999)
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74% (Sawyer, 1991)
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. (Brunner dan Suddarth, 2001)

2.4 Manisfestasi klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini. Pada awalnya nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi. Biasanya terjadi mual dan muntah serta penurunan peristaltik. Suhu dan frekuensi nadi meningkat, dan hampir selalu terdapat peningkatan jumlah leukosit.
2.5 WOC




2.6 Komplikasi
Seringkali, inflamasi tidak lokal dan seluruh rongga abdomen menjadi tertekan pada sepsis umum. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka” harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.

2.7 Pemeriksaan Penunjang
Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan kadar kalium, natrium, dan klorida.
Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus yang terdistensi. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.

2.8 Penatalaksanaan
Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler.
Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan distres pernapasan. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.
Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang tepat dapat dimulai.
Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal.

2.9 Asuhan Keperawatan
2.9.1 Pengkajian
1. Biodata/ identitas pasien : Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan alamat
2. Riwayat penyakit
a. Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum viseral). Kemudian berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal
b. Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari septikemia
c. Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai bahan untuk mengembangkan pernyataan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis, ulkul peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain
3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
4. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a. Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b. TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan hemodinamik.
c. Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien tampak legarti serta syok hipovolemia
d. Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
- Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen didapatkan pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut sering mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut juga mengungkapkan peradangan massa
- Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu tanda ileus obstruktif
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh, adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya endometritis, salpingo-ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit diinterprestasikan dalam peritonitis berat
- Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
5. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal berikut :
1. Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan leukositosis (>11.000 sel/µL)
2. Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
3. Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi disfungsi pembengkuan
4. Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
5. Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun pasien dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan mikrohematuria
6. Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septikemia
7. Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur
b. Pemeriksaan radiografik
1. Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan kasus anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks perforasi. Tegak film berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma (paling sering disebalah kanan) sebagai indikasi adanya viskus berlubang
2. Computed tomography scan (CT scan)
CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan temuan foto polos abdomen. Abses peritoneal dan cairan lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah bimbingan CT scan
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-weighted dan homogen atau peningkatan intensitas sinyal heterogen pada gambar T2-weighted. Terbatasnya 
c. USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas (misalnya perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst), kuadran kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya appendisitis, abses tuba-ovarium, abses Douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri, distensi abdomen dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah kurang dari 100 ml sangat terbatas

2.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri tekan pada abdomen
2. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan anoreksia
3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh ditandai dengan muntah yang berlebihan
4. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder dari syok sepsis ditandai dengan mual, muntah, dan demam

2.9.3 Intervensi Keperawatan
1. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri tekan pada abdomen
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang atau teradaptasi
Kriteria evaluasi :
- Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi
- Skala nyeri 0-1 (0-4)
- TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmatologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
Lakukan manajemen nyeri keperawatan, meliputi:
- Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST











- Beri oksigen nasal apabila skala nyeri ≥ 3 (0-4)

- Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul
- Atur posisi fisiologis

- Berikan kompres hangat pada abdomen
- Kolaburasi : Berikan analgesic

Pendekatan PQRST dapat secara komprehensif menggali kondisi nyeri pasien :
P=Penyebab nyeri bisa diakibatkan oleh respons iritasi atau inflamasi intestinal, abses abdomen, kram abdomen
Q=Kualitas nyeri seperti tumpul, terbakar, kram, dan mulas
R=Area nyeri yang dirasakan seperti nyeri pada abdomen bawah atau atas
S=Pasien mengalami skla nyeri 3 (0-4)
T=Nyeri bertambah  pada waktu ditekan atau dilepas dan saat BAB
Pemberian oksigen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada saat pasien mengalami nyeri pascabedah
Istirahat diperlukan untuk menurunkan peristaltik usus sehingga nyeri dapat berkurang
Pengaturan posisi dapat membantu merelaksasi otot-otot abdomen sehingga menurunkan nyeri
Memberikan respons vasodilatasi. Kompres ini dilakukan pada pasien tanpa pembedahan
Untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri

2. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan anoreksia
Tujuan : setelah 3 x 24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7 x 24 jam pascabedah asupan nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi :
- Pasien dapat menunjukkan metode menelan yang tepat
- Keluhan mual dan muntah berkurang
- Secara subjektif melaporkan peningkatan nafsu makan
- Berat badan meningkat
Intervensi Rasional
Kaji dan berikan nutrisi sesuai tingkat toleransi individu Pemberian nutrisi pada pasien dengan enteritis regional bervariasi sesuai dengan kondisi klinik dan tingkat toleransi individu
Sajikan makanan dengan cara yang menarik Membantu merangsang nafsu makan. Tindakan ini dapat diberikan bila toleransi oral tidak menjadi masalah pada pasien
Fasilitasi pasien memperoleh diet rendah lemak Diet diberikan pada pasien dengan gejala malabsorpsi akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Khusunya penyerapan lemak. Keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan steatorrhea (buang air besar dengan feses bercampur lemak)
Fasilitasi pasien memperoleh diet dengan kandungan serat tinggi Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek asam lemak yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa kolon
Fasilitasi pasien memperoleh diet rendah serat pada gejala obstruksi Diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien dengan gejala obstruksi
Fasilitasi untuk pemberian nutrisi parenteral Nutrisi parental total (TPN) digunakan bila gejala penyakit usus inflamasi bertambah berat. Dengan TPN, perawat dapat mempertahankan catatan akurat tentang intake dan output cairan, serta berat badan pasien setiap hari. Berat badan pasien harus meningkat setelah dilakukan terapi.
Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu) Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan
Lakukan perawatan mulut Intervensi ini untuk men urunkan risiko infeksi oral
Kolaborasi dengan ahli gizi jenis nutrisi yang akan digunakan pasien
Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan komposisi dan jenis makanan yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan individu

3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh ditandai dengan muntah yang berlebihan
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Kriteria evaluasi :
- Pasien tidak mengeluh pusing, membran mukpsa lembap, turgor kulit normal. TTV dalam batas normal, CRT >3 detik, urine >600 ml/hari
- Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/Kreatinin menurun
Intervensi Rasional
Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output) Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine, apabila <600 ml/hari merupakan  tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik
Kaji sumber kehilangan cairan Kehilangan cairan dari muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium via oral yang juga akan meningkatkan risiko gangguan elektrolit
Auskultasi TD Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemik yang memberikan manisfestasi sudah terlibatnya sistem kardiovaskuler untuk melakukan kompensasi mempertahankan tekanan darah
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara teratur Mengetahui adanya pengaruh peningkatan tahanan perifer
Kolaborasi
- Pertahankan pemberian cairan secara intravena

- Evaluasi kadar elektrolit
Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan perawat dalam melakukan kontrol intake dan output cairan
Sebagai diteksi awal menghindari gangguan elektrolit sekunder dari muntah pada pasien peritonitis

4. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder dari syok sepsis ditandai dengan mual, muntah, dan demam 
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria evaluasi :
- Tidak terdapat tanda-tanda syok : pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, kesadaran optimal, urine >600 ml/hari
- Membran mukosa lembap, turgor kulit normal, CRT >3 detik
- Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/Kreatinin menurun
Intervensi Rasional
Intervensi kedaruratan pemenuhan cairan :
- Identifikasi adanya tanda-tanda syok dan status dehidrasi

- Kolaborasi skor dehidrasi


- Lakukan pemasangan IVFD


- Lakukan pemasangan dan pembeian infus secara intraoseus


- Kolaborasi rehidrasi cairan



- Monitor rehidrasi cairan


- Dokumentasi dengan akurat tentang intake dan output cairan
- Lakukan monitoring ketatpada seluruh sistem organ
Pada pasien dengan perubahan akut TTV dan dehidrasi berat maka pemulihan hidrasi menjadi parameter utama dalam melakukan tindakan
Pasien yang mengalami dehidrasi berat ditandai dengan skor dehidrasi 7-12 dan mempunyai risiko tinggi terjadi syok hipovolemik
Pemasangan IVFD secara dua jalur harus dapat dilakukan untuk mencegah syok yang bersifat ireversibel
Setalal dilakukan pemasangan infus intraoseus dengan memberikan cairan satu liter, diharapakan terdapat perbaikan sirkulasi ditandai dengan bendungan vena sehingga syok bisa diatasi
Pemberian 1-2 liter larutan dekstrosa 5% dalam 0,5 NaCl disertai 50 mEq NaHCO2 dan 10-20mEq KCl selama 30-40 menit sangat penting dilakukan pada dehidrasi berat
Rehidrasi cairan harus diperhatikan dan diberikan sampai didapatkannya perbaikan status mental dan tanda perfusi jaringan sudah membaik
Sebagai evaluassi penting dari intervensi hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi
Pasien yang mengalami syok hipovolemik mendapat perawatan di ruang intensif untuk memudahkan dalam memonitor seluruh kondisi organ

5. Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Tidak terjadi syok hipovolemik
2. Informasi kesehatan terpenuhi
3. Nyeri berkurang atau teradaptasi
4. Asupan nutrisi optimal sesuai tingkat toleransi individu
5. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen) dan organ didalamnya. Penyebab dari peritonitis meliputi invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan oleh berbagai kelainan pada gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen (Rotstein, atau perforasi organ pascatrauma abdomen. Manisfestasi yang ditimbulkan berupa nyeri, mual, muntah, suhu dan frekuensi nadi meningkat, serta peningkatan jumlah leukosit.
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis mengharapkan kepada para mahasiswa keperawatan khususnya, agar dapat memahami dan menambah pengetahuan kita tentang Askep Peritonitis dalam mata kuliah sistem pencernaan. Serta diharapkan kritik dan saran yang membangaun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar